Keluarga

5 Opini Buruk Tentang Childless Marriage yang Harus Dihindari

5 Opini Buruk Tentang Childless Marriage yang Harus Dihindari

Sulit sekali membahas tentang childfree marriage tanpa terkesan berpihak di satu sisi atau terkesan menggiring. Di mata seorang Ibu yang merasakan betapa indahnya hidup ketika menimang buah hati, pasti ingin buru-buru mengajak perempuan lain untuk lekas menjalani pengalaman yang sama. Lain lagi di mata seorang istri yang bertahun-tahun menunggu momongan hingga kering air mata. Gagasan bahwa ada perempuan lain di luar sana yang diberkahi rahim sehat namun menolak kehadiran anak seakan jadi cambukan keras, suatu keputusan egois dan tidak adil baginya.

Susah memang jika hanya mengandalkan kacamata diri sendiri ketika menghadapi suatu pernyataan kontroversial seperti childfree marriage. Jalan satu-satunya adalah mengedepankan empati. Untuk sejenak, letakkan ego, tahan diri untuk berdebat atau berkomentar sinis, dan coba sedikit saja memahami apa sih yang ada di pikiran orang-orang yang memutuskan menjalani pernikahan tanpa anak

4 Opini Buruk tentang Childfree Marriage yang Harus Dihindari

Berikut adalah beberapa opini yang kerap muncul, atau mungkin sempat terlontar dari bibir Ibu, dan sebaiknya kita hindari saat menemukan pasangan yang memutuskan menjalani childfree marriage:

1. "Bisa punya anak kok nggak mau, egois banget! Kita kan harus bereproduksi biar manusia nggak punah."


Well, pertama, jumlah populasi manusia di dunia tahun 2021 diperkirakan mencapai 7,7 miliar orang. Indonesia ada di posisi ke-4 dengan jumlah penduduk 271 juta lebih jiwa. Hanya karena segelintir orang memutuskan untuk menjalani childfree marriage, bukan berarti populasi langsung merosot tajam dan kita punah kan? Alasan reproduksi, selain sangat ketinggalan zaman, juga merendahkan peran perempuan yang hanya dilihat dari fungsi rahimnya. 

Menunjuk perempuan yang menjalani childfree marriage sebagai pribadi egois sebenarnya malah menunjukkan ego dari sang pemberi opini. Label egois biasa kita sematkan pada orang-orang yang tidak mau berbagi dan mementingkan diri sendiri. Padahal, tidak semua hal bisa dibagi. Tubuh adalah otonomi masing-masing. Apalagi rahim, tentu amat privasi. Lantas mengapa keputusan tidak mau 'berbagi' rahim untuk memenuhi standar orang lain menjadikan seorang perempuan egois? 

2. "Kalau nggak punya anak nanti diliat aneh sama orang-orang. Hidup kok cuma mikirin senang-senang sendiri?"


Mungkin di imajinasi orang lain saat melihat ikatan pernikahan tanpa anak tuh seperti, "Wah pasti nggak punya anak biar duitnya buat jalan-jalan, honeymoon terus, belanja." Imajinasi itu mungkin terbit ketika pasangan yang sudah menikah dan punya anak nggak bisa lagi jalan-jalan berdua dan belanja seenaknya. Mereka mungkin rindu saat-saat pacaran dulu, tapi daripada terkesan cemburu ya mending mencibir. 

Padahal bisa jadi yang sedang dicibir ya memang memutuskan untuk childfree marriage karena belum stabil secara finansial. Boro-boro liburan, gaji tiap bulan habis buat belanja kebutuhan dapur. Nasehat, "Tenang, anak tuh bawa rezekinya sendiri kok" masih belum menguatkan mental mereka. Ini bukan soal perkara keimanan akan rezeki dari Tuhan, tapi ya memang secara hitung-hitungan ekonomi kehadiran anak bisa menambah beban finansial yang mereka belum siap tanggung. 

Siapa tahu, uang bulanan mereka habis untuk membiayai orang tua yang sedang sakit atau support sekolah adik-adik mereka selama bertahun-tahun ke depan. Jadi, untuk memutus rantai generasi sandwich, mereka memilih untuk hidup tanpa anak karena mereka tidak ingin keturunannya merasakan beban finansial seperti yang ia alami. Atau mereka juga punya trauma pernah mengalami kekerasan dari orang tua toxic, maka dengan segala pertimbangan matang, memilih untuk tidak meneruskan pengalaman buruk itu ke anak-anaknya. Jadi, sebelum dengar cerita lengkapnya, sebaiknya tahan diri dulu deh. 

Selain itu, stigma 'aneh' yang melekat pada gagasan childfree marriage itu sudah sejak dulu ada dan tetap kontroversial sampai sekarang. Artikel berjudul Parenthood as a Moral Imperative? Moral Outrage and the Stigmatization of Voluntary Childfree Women and Men mengatakan bahwa selama 3 dekade, orang yang sengaja tidak punya anak selalu dipandang rendah, memiliki masa depan suram, dan egois oleh masyarakat. 

Bagi beberapa orang, kehidupan di masa tua tanpa anak itu nampak suram; tidak ada yang menemani, kesepian sepanjang waktu, kalau sakit tidak ada yang menjenguk, dan lain sebagainya. 

Hal-hal soal kesendirian itu yang membuat banyak orang takut untuk hidup tanpa keturunan. Kebahagiaan rumah tangga pun jadi taruhan, setidaknya saat ada anak, hati orang tua akan terobati melihat tingkah lucu si kecil. Keluarga makin harmonis, punya tujuan baru, suami dan istri semakin bertanggung jawab dan terikat satu sama lain. Jika Ibu termasuk yang berpikiran seperti ini, sah-sah saja kok. Asal, jangan jadikan anak sebagai satu-satunya penguat ikatan pernikahan. Supaya suami semakin cinta, supaya Ibu punya peran dan dihargai dalam rumah tangga, atau semata agar suami setia karena harus memikul komitmen membesarkan anak. Padahal, kebahagiaan rumah tangga Ibu bukanlah tanggung jawab si kecil.

3. "Kalau nggak punya anak, hidup jadi nggak lengkap."


Bukan cuma di Indonesia, masyarakat Amerika yang kerap dikira umat paling open-minded dan demokratis sedunia ini pun masih banyak yang risih sama gagasan childfree marriage. Dikutip dari Web MD, Laura Scott, penggagas Childless by Choice mengadakan proyek untuk menguji asumsi masyarakat Amerika tentang ide child-free. 

Melalui buku dan dokumenter, ia mensurvey pasangan Amerika Utara, sejarawan, dan pengkaji sosial. Beberapa orang yang Scott interview mengatakan bahwa keharusan untuk punya anak itu seperti 'checklist'; lulus SMA, masuk kampus, menikah, beli rumah, dan punya anak.  

Di Indonesia pun, hidup sesuai dengan konstruksi sosial akan memberikan rasa aman. Mengikuti semua checklist agar terlihat sempurna, normal, dan tidak jadi bahan julid tetangga. Semua list dicentang seakan ya memang sewajarnya begitu dan tidak ada opsi lain. Hidup pun jadi kekurangan imajinasi, sehingga melihat orang-orang yang menjalani hidup di luar checklist seperti alien. 

Padahal kalau dipikir-pikir, "checklist kehidupan" ini akal-akalan siapa sih? Apa iya manusia baru bisa merasa lengkap paripurna setelah mengikuti pedoman hidup yang diikuti oleh mayoritas orang? 

Baiknya memang dikembalikan ke diri sendiri. Kalau Ibu merasa hidup alangkah lengkap dan bahagia sampai ubun-ubun jika punya anak, well it's good for you. Ibu adalah orang yang sangat beruntung bisa menjalani kebahagiaan rumah tangga yang diidamkan banyak orang. Yang salah adalah jika menjustifikasi pasangan childfree marriage itu tidak akan bahagia sesuai standar bahagia versi diri Ibu. Karena pengalaman punya anak itu super menakjubkan, rasanya memang ingin buru-buru mengajak semua perempuan merasakannya. 

Kata-kata seperti, "Ayo dong, enak loh, ayo kapan punya anak?" pun kerap terlontar pada pasangan childfree marriage. Harapannya, dengan terus memaksa, maka akan berubah pikiran. Padahal, kalau toh akhirnya punya anak karena terus dipojokkan terus menerus dan mereka tidak bahagia, apa orang lain mau tanggung jawab? Tentu saja tidak. 

Semua orang punya standar bahagia dan hak untuk memutuskan apa yang membuat mereka senang, termasuk keputusan untuk menjalani childfree marriage. Sebaiknya jangan terlalu ikut campur jika tidak mau menanggung konsekuensi.

4. "Kamu nggak akan utuh sebagai perempuan kalau belum jadi Ibu"


Ada kepercayaan umum di masyarakat bahwa mengandung janin selama 9 bulan lalu melahirkan adalah pengalaman fantastis yang membuat seseorang merasakan keperempuanannya. Sayangnya, mengukur keperempuanan hanya sekedar dari kapabilitasnya untuk bereproduksi sudah termasuk pelanggaran otonomi tubuh perempuan. 

Tidak semua lahir dengan kondisi rahim yang baik, sel telur yang sehat, atau kemauan untuk berhubungan seks dan menghasilkan anak. 

Gagasan utuh dan tidak utuh, selain hanya akal-akalan patriarki, juga amat kejam lho, Bu. Bayangkan saja terlahir sebagai perempuan, menjalani seumur hidup dengan tubuh perempuan, namun dikata-katai bukan perempuan seutuhnya hanya karena tidak menggunakan rahimnya untuk mengandung. Mau ia menjadi donatur panti asuhan sekian anak pun masih terasa kurang jika tidak pernah hamil sendiri. 

Masa iya keperempuanan hanya diukur dari sensasi hamil dan mengejan saat persalinan? Sebagai sesama perempuan, ayo berempati dengan cara berhenti mengatur dan menuntut tubuh perempuan lain.

Tips Nyaman Menjalani Childfree Marriage


Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk meminimalisir drama jika berniat menjalankan ikatan pernikahan tanpa anak, misalnya;

1. Tidak perlu sibuk menjelaskan diri

Dilansir dari Today, Anne Rodrigue bercerita tentang 13 tahun masa pernikahannya tanpa anak. Bagaimana ia membangun ikatan pernikahan yang sehat dan bahagia meski tanpa anak serta cara menjawab pertanyaan kolega yang terus menuntut. Anne memutuskan untuk tidak terlalu menjelaskan alasannya dan menghindar dengan jawaban sederhana seperti, "Lihat saja nanti". Sesungguhnya, tidak ada jawaban yang paling tepat untuk membela childfree marriage jika memang pemikiran sudah sangat bersebrangan. 

Daripada debat kusir dan terkesan defensif, memang sebaiknya menerima fakta bahwa kritikan dan desakan untuk menikah akan selalu ada. Lebih baik melakukan kerja nyata seperti melakukan kegiatan sosial dan berbuat baik untuk sekitar. Fokus pada hal-hal positif saja. Capek jika terus menjelaskan diri pada orang yang malas membuka pikiran dan berempati. 

2. Komunikasikan dengan pasangan

Ikatan pernikahan tanpa anak kerap kali hanya menyudutkan perempuan sebagai empunya rahim. Mirisnya, lelaki malah sering dikasihani atau ditawarkan menikah lagi saat istrinya belum bisa punya anak. Lelaki juga yang dipuji karena bisa sabar menghadapi istri yang tidak mau meneruskan keturunan. Jika tidak punya komunikasi yang bagus dan pemikiran yang sejalan, bisa-bisa kebahagiaan rumah tangga akan terganggu. 

Baik suami maupun istri harus bisa saling menguatkan mental dan membela satu sama lain saat kebahagiaan rumah tangganya mulai dikritik. Maka dari itu keputusan untuk menjalani childfree marriage harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum mengucap janji suci. Jangan sampai di tengah jalan kemudian salah satu berubah pikiran sementara yang lain masih amat saklek. 

3. Menjalin Relasi yang Baik dengan Keluarga

"Kamu nggak ingin apa punya keluarga?" adalah salah satu pertanyaan umum yang kerap dilontarkan pada pasangan childfree marriage. Dipikirnya keluarga ya terdiri dari ayah, Ibu, dan anak-anak. Padahal keluarga itu luas sekali cakupannya. Pasangan childfree marriage juga punya orang tua, saudara, keponakan, dan sepupu yang juga merupakan keluarga besar. Jangan menarik diri dari keluarga atau pertemanan hanya karena merasa berbeda atau teralienasi. Justru tunjukan bahwa sebagai pasangan, kalian amat terbuka pada gagasan pernikahan dengan anak dan menghargai hal itu. 

Kalian juga bukanlah pasangan yang membenci anak kecil. Jangan menyiksa diri dengan menjauh dari keluarga karena tidak kuat mental saat ditanya kapan punya anak. Beranilah menerima konsekuensi dari keputusanmu. Namun lain soal jika cibiran keluarga sudah benar-benar mengganggu kedamaian hati. Sebaiknya tetap berhubungan baik namun menjaga jarak demi kebaikan mental.

Itulah beberapa hal yang bisa kamu persiapkan jika suatu saat memutuskan menjalani ikatan pernikahan tanpa anak. Opini buruk, kritikan kejam, dan orang-orang yang ikut campur mengatur tubuhmu sudah pasti akan ada. Tapi tidak semua perlu didengarkan, sebab kebahagiaan rumah tangga adalah urusan masing-masing. Lagipula, bukankah ciri pernikahan bahagia adalah tidak sibuk menghakimi dan mencibir pasangan lain?

Penulis: Yusrina
Editor: Dwi Ratih