Balita

Agar Anak Berani dan Tidak Mudah Takut, Terapkan 7 Cara ini

Agar Anak Berani dan Tidak Mudah Takut, Terapkan 7 Cara ini

Salah satu tugas kita sebagai orangtua adalah mendidik anak agar anak berani menghadapi dunianya. Sebelum mengharapkan anak berhasil di sekolahnya, mendapat juara umum, atau mengikuti olimpiade tingkat nasional, orangtua perlu mengajarkan dulu bagaimana cara tetap kuat dan berani melangkah walau kesulitan dan kegagalan menghampirinya. Keberanian ini perlu “dipupuk” karena dapat menjadi bekal yang berguna untuk mereka menghadapi kehidupan yang lebih kompleks dan kompetitif saat dewasa kelak.

Agar anak berani, orangtua perlu menjelaskan dulu soal keberanian yang dimaksud. Mungkin bagi sebagian besar anak, keberanian adalah ketika mereka berhasil melompati pagar tinggi, menghadapi anjing yang menggonggong di depan rumah, atau bahkan saat mereka bisa menjadi jagoan di sekolahnya dan merasa berhak menindas teman-teman yang lebih lemah, yang justru hanya akan menjadikannya tukang bully. Padahal, keberanian itu tidak melulu soal adu kekuatan. Keberanian positif lebih dilihat sebagai sesuatu dari dalam diri yang bisa mendorong kita melewati rasa takut, keraguan, kecemasan, sehingga mampu menyelesaikan hal-hal yang mungkin terasa sulit di awal.

Keberanian tidak harus selalu bisa terlihat secara gamblang. Bahkan hal-hal sederhana terkadang sudah bisa menunjukkan bahwa anak berani, seperti misalnya bersikap baik kepada siswa baru di kelas, mau mencoba sesuatu yang baru, mau bertanya pada guru di kelas, mau terbuka mengungkapkan sesuatu yang mereka rasakan atau yakini, atau mau mencoba lagi walau gagal berkali-kali. Namun faktanya, banyak anak yang masih enggan melakukan semua itu. Ada yang merasa malu, tidak percaya diri, atau memang takut gagal lagi.

Biasanya, untuk membuat agar anak berani, orangtua tak segan melakukan cara-cara ekstrem, seperti misalnya saat anak takut gelap, ia akan ditinggal sendiri di ruangan tanpa lampu dan membiarkannya mengatasi sendiri rasa takutnya. Atau bahkan tidak sedikit yang mengejek anak ketika ia gagal saat mencoba sesuatu, “Masa gitu aja nggak bisa?? Ah, cemen!”. Padahal seperti dilansir dari laman Fatherly, cara-cara itu justru akan memperkuat ketakutan dan membuat anak merasa trauma. Ia juga bisa semakin enggan menghadapi ketakutannya, merasa tidak nyaman, dan merasa tertekan pada kondisi yang ia mungkin belum siap hadapi. Mengatakan kepada anak bahwa ketakutan mereka tidak berdasar juga akan membuatnya merasa tidak diterima.

Alih-alih melakukan cara-cara di atas, Ibu dan Ayah bisa mencoba tips menumbuhkan keberanian positif pada anak berikut ini, ya!

  1. Puji anak atas keberaniannya

    Anak-anak seringkali “melangkah” sesuai persepsi orang lain atas dirinya. Artinya, anak akan merasa dirinya pemberani jika orang di sekitarnya menganggapnya demikian. Sebaliknya, jika orangtua terus menanamkan pikiran kalau anaknya penakut, misalnya bercerita ke tetangga, “Ah iya, si adek mah penakut, nggak kayak kakaknya”, yang ada anak juga akan jadi penakut seterusnya.

    Walau mungkin anak belum seutuhnya berani terhadap sesuatu atau kondisi tertentu, orangtua tidak boleh meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan meremehkan setiap usaha anak. Sebaliknya, pujilah dia, akui usahanya untuk menjadi berani. Ibu bisa mengatakan, “Wah, keren ya kamu udah berani beli ke warung sendiri!”, “Anak Ibu hebat sekali, pemberani nih!”, dan berbagai kalimat pujian lainnya. Kalimat-kalimat ini dapat membangun rasa percaya diri anak dan memupuk keberaniannya

  2. Beri kesempatan anak belajar dari kegagalan

    Banyak orangtua yang sering menuntut anak untuk selalu berhasil di setiap usahanya. Padahal, agar anak berani, justru orangtua perlu memberi kesempatan anak merasakan kegagalan. Karena kegagalan atau penolakan juga bisa jadi pertanda bahwa anak telah melakukan sesuatu yang berani. Kegagalan akan membuat anak otomatis “naik level”. Seperti dilansir dari laman Hey Sigmund, setiap kegagalan akan memberikan pengalaman baru bagi anak yang otomatis akan mendorongnya mengambil langkah baru yang sebelumnya mungkin belum pernah dilakukan. Jangan tuntut anak untuk terus melakukan sesuatu dengan sempurna, sebaliknya, beri mereka ruang untuk ketidaksempurnaan, justru ini adalah pokok dari pembelajaran.

  3. Dorong anak untuk mencoba sesuatu yang baru

    Mendorong anak untuk melakukan kegiatan atau aktivitas yang baru dapat menjadi salah satu cara agar anak berani. Misalnya jika mereka belum pernah berinteraksi dengan anak tetangga baru, ajak ia berkunjung ke rumahnya sambil membawa bingkisan. Biarkan ia berkenalan dan bermain bersama anak tersebut. Atau jika anak belum pernah bersepeda roda dua, ajak ia untuk mencobanya. Biarkan ia beradaptasi dan belajar cara menyeimbangkan diri menggunakan sepeda roda dua. Yakinkan juga bahwa mereka mampu dan jangan lupa untuk selalu memuji setiap usahanya.

  4. Mengajarkan anak untuk menjadi dirinya sendiri

    Di dunia yang seringnya terpusat pada apa yang media sosial katakan, membuat banyak orang rela mengubah dirinya habis-habisan demi bisa menjadi orang lain. Agar anak berani, orangtua justru harus mendorong anak untuk menjadi dirinya sendiri, menyayangi dirinya, dan menerima semua kelebihan dan kekurangannya. Jangan sampai anak tumbuh menjadi pribadi seperti yang orang lain pikirkan. Walau di beberapa kondisi, “first impression” itu memang penting, tapi bukan berarti itu jadi satu-satunya “pedoman” untuk mengambil keputusan.

    Ketimbang mempermasalahkan kekurangan anak, carilah kelebihannya dan puji anak atas kelebihannya itu. Buat ia bangga atas apa yang ia miliki, dan jika itu sebuah bakat, fasilitasi anak agar dapat fokus dan mengasah bakatnya. Dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi orang yang berani dan percaya diri.

  5. Jadilah contoh dengan menceritakan perjuangan Ibu dan Ayah

    Menjadi orangtua bukan berarti harus menjadi sempurna seutuhnya. Artinya, Ibu dan Ayah bisa menceritakan pengalaman saat gagal, merasa gugup, kecewa, ketakutan, atau yang lainnya, di mana kenyataan berbanding terbalik dengan harapan. Tidak apa-apa untuk menjadi rapuh di mata anak, justru itu bisa membantunya menyadari bahwa manusia berhak merasa sedih, takut, atau mengalami kegagalan.

    Jelaskan juga bagaimana Ibu dan Ayah bangkit dari keterpurukan itu. Berikan gambaran kepada anak tentang cara membangun strategi-strategi agar anak berani menghadapi hal-hal out of the box di luar sana. Beritahu juga ide-ide yang mungkin cukup berisiko, menantang, dan sedikit berbeda untuk mengatasi masalah tersebut.

  6. Ajarkan kemandirian pada anak

    Banyak orangtua mengerjakan sesuatu yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri oleh anak-anak mereka, seperti misalnya merapikan tempat tidur, merapikan sendiri mainannya, atau mengumpulkan baju kotor. Meski sebenarnya tak ada salahnya juga sesekali membantu anak melakukannya, tapi jika orangtua terus menerus mengambil alih pekerjaan itu, sama saja mereka melewatkan kesempatan berharga untuk mengasah keterampilan hidup, kemandirian, dan kepercayaan diri anak.

  7. Tunjukkan kasih sayang secara fisik dengan memeluk anak sesering mungkin!

    Mungkin memang tidak semua orang mampu menunjukkan rasa sayangnya lewat sentuhan fisik. Biasanya, ini karena mereka tidak biasa, namun bukan berarti tidak bisa. Jika Ibu dan Ayah belum terbiasa mencium dan memeluk anak, cobalah untuk membiasakannya karena ini bisa membantu agar anak berani. Sentuhan fisik seperti ini dapat mengisi “tangki cinta” anak yang akan mendorongnya menjadi orang yang lebih percaya diri dan tidak mudah takut.

Tolak ukur keberhasilan seseorang menjadi orangtua tak hanya melulu bisa dilihat dari seberapa berprestasi anak di sekolah, atau seberapa banyak anak dapat mencetak poin di pertandingan olahraga. Kesuksesan orangtua (bahkan mungkin yang terbesar) juga dapat diukur dari seberapa baik mereka mendidik anak-anaknya supaya bisa menjadi pribadi yang berkembang, tangguh, sehingga selalu siap menghadapi berbagai tantangan di kehidupannya. Membuat agar anak berani adalah salah satunya. Keberanian positif akan menjadi dorongan anak untuk mengejar ambisi besar. Lewat keberanian, mereka akan belajar menangani kegagalan yang membuatnya bangkit kembali.

Penulis: Darin Rania
 Editor: Dwi Ratih