Keluarga

Segala Hal tentang Anak Tunggal yang Ibu Perlu Tahu

Segala Hal tentang Anak Tunggal yang Ibu Perlu Tahu

Berapa banyak teman Ibu yang merupakan anak tunggal? Mungkin tidak banyak. Generasi orang tua milenial biasanya memiliki satu atau dua saudara kandung sebagai wujud dari suksesnya program keluarga berencana pada masa itu. Sekarang, berapa banyak teman Ibu yang memiliki anak tunggal? Kemungkinan besar, jumlahnya jauh lebih banyak daripada jawaban pertanyaan pertama karena orang tua –khususnya di perkotaan- kini mulai berpikir untuk memiliki satu anak saja. 

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang diadakan oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) tahun 2012 menunjukkan rata-rata jumlah anak per keluarga di Indonesia sebanyak 2,6. Tahun 2017, angka ini menurun menjadi 2,4. Namun, beberapa provinsi di Pulau Jawa angkanya sudah di bawah 2. Artinya, semakin banyak keluarga memiliki anak tunggal.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, hampir seperempat keluarga yang ada memiliki anak tunggal. Persentase ini meningkat di kota besar seperti New York, yaitu sekitar 30%. 

Terdapat sejumlah alasan yang melatarbelakangi kecenderungan orang tua untuk memiliki anak tunggal, yaitu:

  1. Alasan finansial

    Ya, siapapun yang memiliki anak pasti memahami bahwa biaya yang dibutuhkan untuk membesarkan seorang anak sangat besar. Untuk mereka yang termasuk kalangan ekonomi menengah dan menengah ke atas, biayanya akan semakin tinggi sesuai dengan gaya hidup. Mulai dari pemeriksaan rutin kehamilan, biaya persalinan, imunisasi, makanan bergizi, pakaian, mainan, biaya sekolah, rekreasi, yang kalau diteruskan mungkin tidak akan ada habisnya.

    Biaya tersebut belum termasuk pengeluaran rutin rumah tangga serta cicilan rumah, cicilan keluarga, asuransi, dan investasi. Inilah yang membuat orang tua mulai berpikir untuk memiliki anak tunggal.

  2. Alasan kesehatan

    Selain alasan finansial, kondisi kesehatan ibu dapat mempengaruhi keputusan untuk memiliki anak tunggal. Beberapa penyakit yang berisiko bagi kehamilan antara lain: asma, diabetes, hipertensi, jantung koroner, obesitas, epilepsi, penyakit ginjal, autoimun, dan HIV/ADIS. 

  3. Alasan pengasuhan

    Membesarkan seorang anak tentu saja lebih mudah daripada membesarkan dua orang anak atau lebih. Orang tua bisa sepenuhnya mengontrol lingkungan di rumah tanpa gangguan dari kakak dan adik si anak. Misalnya, jika sang adik alergi produk susu sementara kakaknya tidak, tentu Ibu bingung apakah sang kakak yang harus ikut-ikutan pantang minum susu atau mengajari adik untuk menahan diri.

    Mengatur screen time pun menjadi lebih menantang saat anak-anak masih balita. Ibu ingin memperkenalkan anak pada gadget atau TV pada usia dua tahun, namun sang kakak sudah boleh mengakses video. Tidak mungkin kan, selalu bersembunyi saat menggunakan gadget? Akhirnya Ibu harus melakukan beberapa kompromi.

    Selain lingkungan yang relatif lebih mudah dikontrol, mengasuh satu balita yang menangis, membuat berantakan isi rumah, dan gemar pilih-pilih makanan tentu terkesan lebih ringan daripada menghadapi dua anak dengan karakter demikian, belum termasuk jika keduanya berebut mainan. Hal-hal tersebut terkesan sepele namun terbukti mampu membuat para Ibu frustrasi, setidaknya hingga anak-anak masuk usia sekolah. Ini belum termasuk tantangan saat anak berusia remaja ya, Bu.

    Zaman sekarang, membesarkan remaja harus ekstra pintar dan ekstra hati-hati. Melakukan PDKT ke anak tunggal saat remaja terlihat lebih mudah dibandingkan ada dua remaja ditambah satu pra remaja dan satu balita, bukan? Menghabiskan quality time berdua pun mudah didapatkan jika memiliki anak tunggal, kedekatan lebih terasa.

    Karena sejumlah alasan yang berkaitan dengan pengasuhan inilah banyak orang tua mulai mempertimbangkan untuk memiliki satu anak saja.

  4. Trauma

    Post Traumatic Strss Disorder (PTSD) ternyata tidak hanya terjadi pada peristiwa seperti yang mengancam jiwa seperti bencana alam, kecelakaan, dan tindak kriminal. Melahirkan –yang notabene merupakan proses alami- pun dapat menimbulkan trauma bagi ibu. Beberapa penyebabnya mungkin berasal dari rasa sakit pasca operasi caesar, rasa sakit saat proses induksi, mengalami kejadian tidak mengenakkan dari tenaga medis, rasa nyeri tak tertahankan saat persalinan, bayi lahir meninggal, maupun bayi lahir dengan kendala hingga harus masuk NICU (Neonatal Intensive Care Unit)

    Trauma melahirkan ini tidak hanya terwujud dalam bentuk sulit tidur, rasa takut, mimpi buruk, perasaan tidak berdaya jika teringat proses melahirkan, namun juga dapat membuat ibu tidak ingin melahirkan lagi. Jika tidak segera ditangani, trauma ini dapat menyebabkan ibu menolak untuk menyusui, tidak memiliki ikatan dengan bayi, yang berujung pada postpartum depression atau depresi pasca melahirkan

Karena berbagai alasan inilah sejumlah orang tua memutuskan untuk mencukupkan diri dengan anak tunggal, terlepas dari berbagai anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa anak tunggal manja, kesepian, sulit beradaptasi dalam kelompok, dan tidak dapat diandalkan untuk merawat orang tua di masa tua nanti. Apakah benar demikian? Yuk, tengok suka dukanya memiliki anak tunggal!


Sukanya Memiliki Anak Tunggal 

  1. Anak mendapat cukup perhatian

    Salah satu hal yang sering membuat orang tua dilema adalah ketika mereka tidak memiliki cukup waktu untuk anak-anak mereka. Apalagi, jika ayah dan ibu sama-sama bekerja di luar rumah. Memiliki anak tunggal membuat orang tua bisa mencurahkan seluruh perhatian untuk anak, tanpa terbagi oleh kakak atau adiknya. Menemani bermain, mengerjakan PR, menonton anak saat pentas, menerima rapor (yang kadang jadwalnya bertabrakan jika memiliki lebih dari satu anak) bisa dilakukan tanpa harus pusing merasa memprioritaskan salah satu anak.

    Kurangnya perhatian juga sering menjadi penyebab anak mendadak bertingkah laku negatif, seperti yang umum dialami oleh Ibu pasca melahirkan sang adik. Bayi yang membutuhkan perhatian penuh membuat sang kakak merasa tersisih dan akhirnya mencari perhatian Ibu dalam bentuk perilaku yang menguji kesabaran. Dengan memiliki anak tunggal, hal seperti ini dapat dihindari. Anak pun merasa "tangki cinta"nya penuh dengan perhatian dari kedua orang tuanya.

  2. Hubungan orang tua - anak relatif dekat

    Anak tunggal tidak memiliki saudara untuk bermain bersama sehingga orang tuanya lah yang menjadi sosok untuk mengembangkan kemampuannya bersosialisasi dan membantunya menumbuhkan konsep diri. Ketika anak beranjak remaja, jika orang tua mampu menjalin komunikasi yang terbuka, maka akan terjalin hubungan dekat antara keduanya yang membuat orang tua mampu menjaga remaja dengan baik. Remaja pun merasa memiliki pelindung, pembimbing, sosok yang ia percaya di tengah berbagai macam perubahan yang ia alami saat pubertas. 

  3. Lebih mudah memenuhi kebutuhannya

    Dengan menjadi satu-satunya anak dalam keluarga, kebutuhan anak menjadi lebih mudah dipenuhi oleh orang tua. Pernah mendengar kondisi di kalangan ekonomi bawah tentang kakak yang harus mengalah untuk tidak sekolah agar adik-adiknya bisa minimal lulus SMP? Jamak terjadi pada generasi kakek nenek Ibu, namun masih terjadi hingga sekarang. Memiliki banyak anak tanpa perencanaan matang menjadi penyebabnya. Nah, kebalikan dengan fenomena tersebut, anak tunggal jauh lebih beruntung misalnya pun terlahir di keluarga yang kurang mampu.

    Ketika hanya memiliki satu anak, orang tua dapat lebih leluasa memenuhi kebutuhan anak tanpa harus memikirkan kebutuhan anak yang lain. Tidak hanya kebutuhan primer, namun juga kebutuhan sekunder dan tersier seperti biaya rekreasi, kebutuhan teknologi, memperdalam hobi akan lebih mudah dipenuhi. 


Dukanya Memiliki Anak Tunggal

  1. Orang tua merasa terbebani

    Dalam situs We Have Kids disebutkan bahwa orang tua yang memiliki anak tunggal harus memenuhi kebutuhan anak tanpa ada bantuan dan hal ini dapat membuat orang tua merasakan tekanan yang besar untuk bisa menjadi orang tua sekaligus saudara bagi anak. Bagi orang tua yang perfeksionis, terdapat keinginan untuk berhasil mendidik anak karena hanya satu inilah yang ia miliki dan jangan sampai gagal. Terkadang, pemenuhan kebutuhan anak bukan menjadi satu-satunya indikator keberhasilan proses pengasuhan orang tua, namun keinginan untuk menjadikan anak untuk berprestasi dan sukses di masa depan yang bisa saja muncul sebagai efek “hanya” memiliki anak tunggal. Jika anak tidak menikmati prosesnya, hal ini bisa menyebabkan stress pada anak.

  2. Anak menjadi manja jika salah didik

    Pendapat paling umum tentang anak tunggal adalah anak manja bisa jadi berakar dari orang tua yang selalu berusaha atau berhasil memenuhi segala macam kebutuhannya. Anak jadi terbiasa dengan kondisi serba ada dan ini membuat mental berjuangnya menjadi kurang. Pada anak yang masih balita, terbiasa dilayani oleh orang tua membuatnya menjadi kurang mandiri. Hal ini berbahaya jika terus dibiarkan karena sifat manjanya bisa bertahan hingga dewasa. Orang tua bisa jadi melakukan hal ini tanpa sadar karena kondisi tidak mendesaknya untuk membagi waktu dan sumber daya bagi anak-anaknya.

  3. Masa tua hanya dengan satu anak

    Saat orang tua sudah memasuki masa tua kelak, anak tunggal tidak dapat berbagi dengan saudaranya untuk merawat dan menemani orang tua. Berbeda dengan di negara barat dimana panti jompo adalah hal yang biasa, di Indonesia orang tua menjadi tanggung jawab anak yang sudah dewasa. Jika kondisi kesehatan orang tua tidak baik, misal terkena stroke dan penyakit yang membutuhkan pendampingan, maka anak harus merawatnya sendiri. Apabila kondisi ekonomi anak baik, mempekerjakan perawat dapat menjadi solusi. 

    Begitu juga dengan orang tua. Pada usia renta nanti, ketergantungan pada anak akan menjadi salah satu tantangan bagi orang tua. Jika anak satu-satunya ternyata tidak sesuai yang diharapkan, sementara pasangan sudah tiada, orang tua tidak memiliki pilihan untuk tinggal dengan anak yang lain. 


Cara mendidik anak tunggal

Jadi, bagaimana orang tua harus mendidik anak agar tidak terjadi “sindrom anak tunggal”? Simak tips berikut ini!

  1. Mengajak anak bersosialisasi

    Seberapa banyak pun Ibu mencurahkan waktu untuk anak, anak tunggal tetap membutuhkan interaksi dengan anak yang seusia dengannya. Karena itu, J. Lane Tanner, MD, FAAP, associate professor of pediatrics dari University of California menyarankan orang tua mengajak anak bermain dengan anak lain sejak usia 18 bulan. Mengundang anak teman Ibu untuk datang ke rumah, playdate dengan anak teman-teman Ibu ke suatu tempat, atau bertandang ke rumah kerabat atau tetangga yang memiliki anak bisa menjadi solusi. 

  2. Asah kemandiriannya

    Memberi tugas pekerjaan rumah atau kewajiban pada anak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri akan mengasah kemandiriannya. Membersihkan kamarnya sendiri, merapikan tempat tidur, menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa ke sekolah keesokan harinya, atau sesederhana meletakkan piring kotor ke dapur bisa membiasakan anak tunggal untuk tidak mengandalkan orang lain, meskipun hal-hal di atas tidak merepotkan Ibu.

    Namun, Ibu harus menahan diri untuk tidak membenahi ulang apa yang sudah anak lakukan karena anak tunggal memiliki kecenderungan bersifat perfeksionis. Menyempurnakan pekerjaannya akan membuat anak tunggal semakin perfeksionis.

  3. Menjadi contoh

    Anak mendapat pengalaman pertama tentang bagaimana cara bersosialisasi dan problem solving dari saudara kandungnya, seperti adik yang selalu mencontoh kakaknya untuk tahu cara melakukan sesuatu, belajar mencapai keinginan dan mengalah, belajar menunggu giliran, mengekspresikan rasa marah dan sayang, hingga resolusi konflik.

    Dengan menjadi anak tunggal, maka orang tua lah yang mengambil alih peran ini. Karenanya, Ibu dan Ayah diharapkan dapat menjadi contoh bagi anak dalam mengasah keterampilannya mengenali diri dan emosi, cara memperlakukan orang lain, cara berkompromi, dan berempati. Beri anak penghargaan atau pujian jika berhasil bersikap baik seperti contoh di atas dan beri konsekuensi jika anak belum mampu bersikap seperti yang diharapkan. 

  4. Batasi pemberian

    Menuruti semua keinginan anak tunggal akan berdampak negatif secara jangka panjang, ujar Carl E. Pickhardt, PhD, penulis buku Keys of Parenting an Only Child. Hal tersebut akan membuat anak menginginkan segala hal dan hanya ingin melakukan sesuatu menggunakan cara yang ia kehendaki, atau tidak sama sekali. Karena itu, Ibu harus mampu membatasi pemberian pada anak meskipun hal tersebut tidak menyulitkan dan harganya terjangkau. Langkah-langkahnya antara lain dengan menentukan batasan pemberian, menunda kesenangan, disiplin pada peraturan yang diberlakukan di rumah, menegakkan kedisiplinan.

  5. Sesuaikan ekspektasi

    Terkadang, orang tua menaruh harapan besar pada anak semata wayangnya. Sayangnya, anak juga membutuhkan kebebasan untuk melakukan hal yang disukainya. Saat anak terlihat memiliki bakat di bidang menggambar, Ibu bisa mendaftarkannya kursus menggambar jika anak setuju.. Ketika ikut lomba menggambar, jangan bebani anak untuk meraih juara meskipun Ibu yakin ia mampu. Berikan semangat dan apresiasi usahanya apapun hasilnya. Membimbingnya untuk melakukan yang terbaik untuk masa depannya bisa dilakukan tanpa memaksa anak untuk memenuhi ambisi dan ekspektasi orang tua.

  6. Jangan lupa tertawa!

    Dalam buku The Birth Order Book: Why You Are the Way You Are karangan Dr. Kevin Leman, anak tunggal memiliki karakter sangat logis, ilmiah, berpikiran kaku yang dapat membuat mereka menjadi terlalu serius. Karenanya, orang tua dapat mengimbangi karakter tersebut dengan sering menyelipkan humor dalam pembicaraan sehari-hari, tidak terlalu menganggap serius hal-hal sepele, dan menghindari sifat otoriter dalam menegakkan disiplin. Hal ini kelak tidak hanya bermanfaat bagi hubungan orang tua dan anak, namun juga relasi anak dengan teman, rekan kerja, lingkungan sosial, dan keluarganya kelak.

(Menur)