Balita

5 Cara Menjaga Kesehatan Mental Anak Selama Pandemi

5 Cara Menjaga Kesehatan Mental Anak Selama Pandemi

Pandemi Covid-19 yang sudah hampir satu tahun berlangsung telah berdampak pada kesehatan mental keluarga, tak terkecuali pada kesehatan mental anak. Tidak sedikit orangtua yang mengeluhkan perubahan sikap anaknya selama pandemi, entah menjadi lebih moody, lebih mudah marah dan menangis, atau lebih sering tantrum. Kondisi ini seringkali membuat orangtua kewalahan karena mereka kesulitan menebak keinginan anaknya. Pada akhirnya, orangtua pun tak bisa terhindar dari rasa stres selama pandemi.

Pergolakan batin yang dirasakan anak selama pandemi sebenarnya bukan hal yang terlalu mengherankan. Pasalnya, anak-anak yang sebelumnya mungkin lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah dan berinteraksi dengan teman sebayanya, menjadi dituntut untuk banyak berada di rumah dan melakukan kegiatan dengan orang yang sama setiap hari.

Perasaan stres itu mungkin lebih kuat dirasakan anak-anak yang sudah bersekolah. Karena school from homemereka jadi tidak bisa bertemu secara fisik dengan teman-teman dan gurunya. Tak heran jika mereka merasa bosan, capek, atau sangat kesal. Hal ini membuat kesehatan mental anak pun jadi terganggu.

Kesehatan mental anak yang tidak dijaga dengan baik dapat memicu masalah yang lebih kompleks di kemudian hari. Para orangtua dituntut untuk lebih peka terhadap perasaan anak. Orangtua perlu memastikan agar anak tidak mengalami stres berlebih yang bisa berujung pada depresi. Di sini peran orangtua begitu penting. Bagaimana tips untuk menjaga kesehatan mental anak selama pandemi?

Cara Menjaga Kesehatan Mental Anak Selama Pandemi Menggunakan Metode RAPID

Salah satu cara yang dapat dilakukan orangtua untuk menjaga kesehatan mental anak di masa pandemi adalah dengan menerapkan metode RAPID (Reflective Listening, Assessment, Prioritization, Intervention, Disposition). Seperti dilansir dari Motherly, RAPID ini termasuk ke dalam metode atau pendekatan PFA (Psychological First Aid) yang biasanya digunakan para petugas tanggap darurat untuk membantu memulihkan kondisi mental korban bencana alam. Mereka fokus ke perbaikan fungsi dan penanganan untuk mengurangi stres para korban.

Metode RAPID-PFA diciptakan oleh Johns Hopkins University. Tujuannya agar bisa dipraktikkan oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kejiwaan, terutama ketika praktisi kesehatan mental mungkin sedang kewalahan atau sulit diakses. Jadi semua orang bisa menggunakan metode ini, termasuk para orangtua yang ingin menjaga kesehatan mental anak mereka selama pandemi.

Namun, yang perlu digarisbawahi, PFA bukanlah sebuah terapi, melainkan sebuah metode atau sistem yang bisa digunakan orangtua untuk mendukung anaknya melewati masa-masa krisis. Berikut ini penjelasan lebih detail dari setiap komponennya:

Lebih bagus lagi jika Ibu bisa menjadikan berbagai kegiatan di atas sebagai jadwal rutin harian. Misalnya, menempel kliping setiap pagi, grounding setiap sore, dan lain sebagainya.

  1. Reflective listening

    Huruf “R” pada RAPID berarti “Reflective listening”. Artinya orangtua harus bisa mendengarkan secara reflektif dan bijaksana, apa yang dikatakan anak. Ketika anak-anak mengungkapkan perasaan mereka, mengekspresikan emosi atau ketakutannya, bahkan menyebut atau bercerita sesuatu hal yang ada di berita, tanggapi dengan cara mengakui dan memvalidasi emosi atau cerita mereka itu.

    Cara ini berkebalikan dengan apa yang mungkin sering tanpa sadar kita lakukan kepada anak, yaitu menganggap apa yang mereka coba utarakan sebagai angin lalu alias tidak begitu penting. Padahal validasi atas emosi mereka sangat penting kita lakukan untuk membangun kepercayaan diri anak, sehingga kesehatan mental anak pun jadi lebih terjaga.

    Contoh respon yang bisa orangtua berikan:

    “Hmm... Kayaknya hari-hari kakak memang lagi berat ya. Gimana perasaan kakak? Cerita sini ke Ibu atau Ayah.”

    “Kamu lagi sedih ya? Coba ceritain dong gimana rasanya.”

    “Apa sih yang bikin adek takut?”

    “Iya, Ibu ngerti kalau kamu khawatir. Memang rasanya nggak enak banget kok.”

  2. Assessment

    Lakukan riset kecil-kecilan untuk mengetahui sejauh mana pandemi berdampak pada kebiasaan anak Ibu. Observasilah dengan memperhatikan tingkahnya, apakah anak menjadi lebih pemurung dan penyendiri? Ataukah nafsu makannya jadi turun drastis? Atau jam tidur anak menjadi berantakan dan sering ngompol?

    Ibu atau Ayah juga bisa membangun percakapan dengan anak agar lebih memahami apa yang mereka rasakan. Dengan melihat dan mendengar, orangtua dapat mengetahui bagaimana pandemi berdampak pada perilaku dan kebiasaan sehari-hari anak. Jika memang masa krisis ini sudah benar-benar “mengganggu”-nya, komponen berikutnya pada metode RAPID mungkin bisa membantu.

  3. Prioritization

    Bila sudah ada tanda-tanda bahwa kesehatan mental anak Ibu mulai terganggu karena pandemi, Ibu bisa menetapkan skala prioritas dengan mengutamakan kebutuhan anak dibanding Ibu. Temani mereka, sebisa mungkin kurangi kegiatan Ibu atau Ayah demi bisa menemani anak melewati masa-masa sulitnya. Tahap ini sebenarnya tidak hanya berlaku saat pandemi saja, melainkan juga di masa normal, kapan pun ketika perilaku anak berubah. Tugas Ibu dan Ayah adalah membersamainya.

    Pun jika Ibu memiliki anak lebih dari satu. Mungkin salah satu anak Ibu lebih dominan menunjukkan ketidaknyamanannya dibanding yang lain. Bila hal ini terjadi, utamakan anak yang sedang “bermasalah” tersebut. Temani dia, ajak ngobrol, dan luangkan waktu lebih banyak dan intim dengannya.

  4. 4. Intervention

    Ajak anak untuk melupakan rasa stres dan frustasinya dengan melakukan intervensi seperti berikut ini:

    • Buat kliping atau papan visual yang fokus pada masa depan sehingga mereka tidak hanya sibuk dengan pikiran tentang hari ini. Ibu bisa mencetak gambar-gambar tempat atau lokasi yang pernah atau ingin anak kunjungi. Tanyakan pada anak manakah dari gambar tersebut yang paling ingin ia kunjungi lagi setelah pandemi, lalu tempel gambarnya ke papan atau kertas berukuran besar. Ibu juga bisa menanyakan ke anak siapa saja teman yang ingin segera mereka temui begitu pandemi selesai, lalu minta mereka menuliskannya pada papan. Cara ini akan membantu anak memikirkan masa depan dan membuat mereka merasa ada harapan.

    • Validasi perasaan mereka dengan meyakinkan bahwa mereka tidak sendirian menghadapi ini semua. Beritahu anak juga kalau apa yang mereka rasakan itu sangat wajar dan banyak anak yang mengalami hal serupa.

    • Bantu anak untuk berekspektasi, misalnya dengan mengatakan, “Adek mungkin bosan karena adek harus di rumah terus, tapi bosan itu bisa hilang kok. Banyak orang yang bosan di rumah, terus mereka banyak melakukan aktivitas, eh jadi nggak bosen lagi. Adek main aja yuk sama Ibu.”

    • Terapkan teknik mengelola emosi misalnya dengan mengajak anak menarik napas dalam-dalam, lalu buang (inhale-exhale) supaya bisa lebih tenang. Bisa juga dengan grounding --berjalan keliling kompleks tanpa alas kaki, untuk lebih mendekatkan diri pada alam. Ajak anak berkomunikasi, misalnya dengan menanyakan apa yang mereka lihat, dengar, dan cium selama perjalanan.

  5. Disposition

    Di tahap ini, saatnya Ibu melakukan evaluasi dengan memperhatikan perubahan pada perilaku anak. Hal ini untuk mengetahui apakah ada perubahan atau tidak setelah 4 tahap sebelumnya dilakukan. Jika anak tetap menunjukkan kecemasan, perasaan stres atau frustasi dan tidak berkurang sama sekali, ada baiknya Ibu menghubungi dokter anak, psikiater, atau psikolog anak. Sembari mencari tenaga bantuan medis, tetap dukung beri dukungan sosial kepada anak Ibu.

Selain dengan metode RAPID di atas, sebenarnya Ibu juga bisa memperbanyak kegiatan yang berhubungan dengan alam lho. Misalnya seperti mengajak anak berjemur setiap pagi, berkebun di belakang rumah setiap sore, atau memberinya hewan peliharaan untuk dirawat bersama. Kegiatan ini juga dapat membantu menjaga kesehatan mental anak supaya mereka tidak stres dan bosan. Selamat mencoba, Bu!

Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih