Balita

Ingin Anak Tumbuh Optimal? Yuk, Kenali Periode Sensitif Anak

Ingin Anak Tumbuh Optimal? Yuk, Kenali Periode Sensitif Anak

Mungkin banyak orang mengira kalau “periode sensitif anak” itu berkaitan dengan saat-saat di mana anak menjadi lebih mudah emosi, tantrum, atau tidak terkendali. Layaknya perempuan yang sedang menstruasi, biasanya ia menjadi lebih sensitif saat tamu bulanannya akan tiba. Begitu juga dengan anak, mungkin ada yang menganggap kalau anak juga punya masa-masa saat ia jadi lebih sensitif dan moody. Bahkan mungkin ada juga yang mengaitkannya dengan istilah atau fase “the terrible twos”.

Sebetulnya, periode sensitif anak bukan merujuk pada waktu-waktu ketika anak menjadi lebih emosional ketimbang biasanya, ya, Bu. Periode sensitif, atau ada yang menyebut juga sebagai periode kritis, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut masa atau periode ketika anak sedang banyak tertarik dan responsif terhadap sesuatu. Di periode sensitif ini, anak akan banyak belajar dan mengasah keterampilan dan kemampuannya. Otak mereka bagaikan spons, yang mampu menyerap informasi dengan sangat cepat dan tanggap.

Karena kemampuan mengingat anak dan ketertarikannya terhadap sesuatu sedang berada di puncaknya, para ahli pun berpendapat kalau orangtua perlu memanfaatkan periode sensitif anak ini dengan sebaik-baiknya, sebab saat itulah waktu yang tepat mengajarkan mereka banyak hal positif.

Periode Sensitif Anak Adalah Bagian dari Fase Tumbuh Kembangnya

Istilah periode sensitif anak sebenarnya bukan istilah yang baru-baru amat lo, Bu. Istilah ini sudah ada sejak hampir 100 tahun lalu dan dipopulerkan oleh Dr. Maria Montessori, iya, orang yang juga mencetuskan metode pengajaran montessori pertama kali. Seperti dilansir dari laman Rochester Montessori School, hampir 100 tahun lalu, Maria telah mengobservasi sebuah fenomena yang dialami anak-anak. Menurutnya, setiap anak akan melalui periode sensitifnya karena secara alamiah, ada sesuatu dalam diri mereka yang mendorongnya mempelajari benda di sekitarnya dan memahami hubungan sosialnya dengan orang lain.

Menurut teori Montessori, periode sensitif anak yang utama berlangsung sejak anak baru lahir hingga usia enam tahun. Di enam tahun pertama kehidupannya ini, anak akan banyak belajar tentang lingkungan di sekelilingnya. Sejak usia nol hingga tiga tahun, anak akan secara tidak sadar menyerap seluruh aspek kehidupan tanpa disaring terlebih dahulu. Maka dari itu, penting untuk orangtua mengajarkan hal-hal baik karena di usia-usia ini kebanyakan anak belum memahami konsep benar dan salah. Baru saat memasuki usia 3-6 tahun, anak jadi lebih “sadar” sehingga mampu memilah atau memfilter pengaruh dari lingkungan di sekitarnya.

5 Kategori Periode Sensitif Anak

Selama enam tahun pertama kehidupan mereka, anak-anak akan melewati setidaknya lima kategori periode sensitif, termasuk: gerakan, keterampilan sensorik, keteraturan, bahasa, dan keterampilan sosial. Setiap periode sensitif akan dilalui anak selama beberapa waktu, setiap anak bisa melaluinya dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Periode ini akan berlangsung sementara dan akan memudar setelah anak mampu mencapai tujuannya. Berikut penjelasannya:

  1. Periode sensitif anak untuk gerakan (nol sampai 2,5 tahun)

    Dikutip dari Montessori Academy, periode sensitif anak untuk gerakan (movements) dibagi menjadi dua fase: 0 sampai 2,5 tahun dan 2,5 hingga 4,5 tahun. Di fase pertama, anak sangat sensitif terhadap perkembangan motorik kasar dan halus. Ini dimulai saat ia belajar merangkak, menarik, dan akhirnya berjalan tanpa bantuan. Seiring waktu, anak-anak juga mengembangkan keterampilan motorik halus melalui aktivitas berulang yang memperkuat otot tangan dan meningkatkan koordinasi tangan dan mata, seperti memungut benda kecil atau memegang pensil untuk coret-coret. Anak-anak menggunakan tangan mereka dengan berbagai cara untuk menjelajahi lingkungan dan benda-benda di sekitarnya, dan terus menunjukkan kemajuan setiap hari.

    Setelah memasuki fase kedua, anak akan melanjutkan periode ini namun lebih banyak tahap penyempurnaannya. Ia akan terlihat lebih mampu mengoordinasikan mata dan mengontrol gerakannya, seperti mulai memegang benda dengan dua tangan, menekan penjepit, dan lain sebagainya. Kebutuhan anak untuk bergerak seringkali tidak terbatas. Maka tidak heran jika mereka kelihatan tidak kenal lelah karena memang ini merupakan bagian dari perkembangannya. Ibu tak perlu melarangnya berlari, naik turun tangga (asalkan didampingi), atau membawa benda-benda berat demi memuaskan otot besarnya, karena ternyata membiarkan mereka melakukan itu semua akan membantunya fokus pada hal-hal kecil serta makan dan tidur lebih nyenyak.

  2. Periode sensitif anak untuk keterampilan sensorik (0 sampai 6 tahun)

    Anak-anak mulai memahami dan menyempurnakan indra mereka sejak lahir hingga usia lima tahun. Periode kepekaan ini ditunjukkan dengan ketertarikan anak pada sentuhan, rasa, penglihatan, dan penciuman. Fase pertama kesadaran sensorik, saat di mana anak-anak sangat peka dengan benda atau detail kecil, terjadi pada usia 1 hingga 3 tahun. Lalu fase sensitivitas kedua, di mana anak mulai bereksplorasi dan berkeinginan kuat mengambil bagian dalam pemanfaatan panca indra, terjadi antara 2,5 hingga 6 tahun.

    Untuk mendukung periode sensitif anak yang satu ini, Ibu perlu memberinya kesempatan menjelajahi dan mengamati lingkungannya menggunakan indra mereka, seperti misalnya mengajaknya ke halaman rumah, mengamati binatang kecil, mendengar kicauan burung, dan lain sebagainya.

  3. Periode sensitif anak untuk keteraturan / urutan / order (1,5 sampai 4 tahun)

    Apakah anak Ibu sering minta dibacakan buku cerita yang sama berulang kali? Atau minta dinyanyikan lagu yang sama terus menerus? Jika iya, besar kemungkinan ia sedang melalui periode sensitifnya soal keteraturan. Di masa ini, anak sangat menyukai rutinitas. Dalam teori Montessori, anak-anak memang perlu memiliki keteraturan dan stabilitas di lingkungannya karena ia sedang membangun dirinya sendiri dari elemen-elemen yang ia peroleh dari lingkungannya. Keteraturan atau rutinitas ini dianggapnya bisa menyediakan situasi yang aman untuk mengeksplorasi sesuatu hal yang lebih besar nantinya.

    Periode sensitif anak ini biasanya ditunjukkan dengan kepekaannya terhadap penempatan barang-barang di sekitarnya. Mereka menjadi orang yang sangat teliti dan tak segan menegur orang dewasa yang mencoba meletakkan benda di tempat yang tidak seharusnya. Di fase ini, anak akan lebih bahagia ketika kegiatannya sehari-hari ditentukan oleh rutinitas. Membuat jadwal harian akan dapat membantu anak memenuhi kebutuhan akan keteraturan ini.

  4. Periode sensitif anak untuk kemampuan bahasa (1 sampai 6 tahun)

    Sejak lahir hingga usia enam tahun, anak-anak berada dalam masa sensitif bahasa. Kepekaan terhadap bahasa melibatkan tiga fase utama: bahasa lisan, bahasa tertulis, dan membaca. Periode sensitif untuk bahasa lisan adalah dari usia 7 bulan hingga 3 tahun. Ini dimulai ketika anak pertama kali menciptakan suara dengan meniru gerakan mulut, dan berkembang seiring waktu saat mereka belajar membentuk kata-kata dan kalimat sederhana.

    Periode sensitif anak untuk belajar menulis adalah dari usia 3,5 hingga 4,5 tahun. Ini dimulai ketika anak mempelajari alfabet, dan kemudian melihat kata-kata, yang nantinya jadi dasar kemampuan membaca dan menulisnya. Untuk membaca, biasanya anak akan tertarik pada aktivitas ini dari usia 4,5 hingga 5,5 tahun. Keterampilan membaca sering kali dikembangkan setelah seorang anak belajar menulis karena melibatkan kemampuan visual.

    Untuk mendukung perkembangan bahasa di rumah dan juga mendorong anak cepat bicara, penting untuk melibatkan anak di lingkungan yang kaya akan rangsangan bahasa. Ibu, Ayah, atau orang dewasa di sekitar anak dapat mengajaknya berbicara dengan bahasa yang jelas, bernyanyi, dan membaca bersamanya.

  5. Periode sensitif anak untuk bersosialisasi (2,5 sampai 5 tahun)

    Anak-anak akan belajar memahami bahwa mereka adalah bagian dari suatu kelompok di usia 2,5 hingga 5 tahun. Di rentang usia ini, anak akan terlihat semangat berinteraksi dan membangun hubungan sosial dengan orang lain atau teman sebayanya. Anak belajar mengarahkan tindakan, perhatian, serta perilakunya kepada sekelompok orang. Di tahap ini anak akan mulai belajar konsep persahabatan dan mulai berpartisipasi dalam suatu permainan kooperatif. Periode sensitif anak ini merupakan tahapan dan saat yang tepat untuk memperkenalkan pentingnya sopan santun dan prinsip dasar interaksi manusia kepada mereka.

    Demi mendukung perkembangan keterampilan bersosialisasinya, orangtua dapat memberi kesempatan anak untuk berinteraksi dengan teman-teman seusianya. Di rumah, Ibu juga bisa memberi contoh positif mengenai cara-cara berperilaku sosial misalnya dengan sering menggunakan kata ajaib “tolong”, “maaf”, terima kasih”, atau “permisi”.

Apa yang harus dilakukan orangtua?

Tugas kita sebagai orangtua adalah dengan mempelajari periode sensitif anak, agar dapat lebih mudah mengenali periode tersebut. Saat sudah mengenalinya, kita jadi bisa membantu anak untuk memenuhi kebutuhannya sehingga tumbuh kembangnya pun menjadi lebih optimal.

  1. Menyediakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan di setiap periode sensitif anak

    Sebagai orangtua, sudah seharusnya kita mendukung setiap keinginan anak untuk belajar supaya kebutuhannya itu terpenuhi. Salah satunya adalah dengan menyediakan lingkungan sesuai kebutuhan anak. Biarkan anak beraktivitas dengan mengikuti insting mereka, seperti melihat apa yang ingin ia lihat, menyentuh apa yang ingin disentuh (selama tidak berbahaya, sebaiknya Ibu jangan melarangnya). Dengan memberinya kesempatan mencoba banyak hal, anak juga jadi belajar banyak serta dapat mengeksplorasi kemampuan indranya sendiri.

  2. Membantu anak mengembangkan otot-otot tubuhnya

    Mendukung anak mengembangkan otot-otot tubuhnya dapat membantu mendukung perkembangan motoriknya, baik motorik kasar maupun motorik halus. Saat berada di periode sensitif ini, anak akan bereksplorasi dengan memegang benda, memasukannya ke dalam mulut, meremas, memindahkannya, atau bahkan melemparnya. Sedangkan untuk melatih otot besarnya, biasanya anak akan terus bergerak tak kenal lelah.

    Saat memasuki fase ini, Ibu tak perlu terlalu sering mengucap “jangan” dan berusaha menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman untuknya bergerak. Misalnya, saat anak sedang belajar merangkak, buatlah suasana kamar dan rumah seaman mungkin. Tutup akses ke tangga supaya anak dapat merangkak dengan bebas namun tetap aman. Singkirkan juga benda-benda kecil dan berbahaya supaya anak tidak meraihnya.

  3. Bersikap reaktif terhadap tingkah laku anak

    Orangtua perlu mendukung periode sensitif anak dengan bersikap reaktif terhadap setiap tingkah lakunya. Seperti saat anak menunjukkan kemampuan bahasanya dengan mengoceh, Ibu bisa menanggapinya walau mungkin anak belum sepenuhnya mengerti. Namun melalui respon Ibu, anak jadi paham kalau celotehannya itu diterima dengan baik. Respon orangtua ini akan membantu anak mengembangkan kemampuan bicaranya lo!

    Periode sensitif anak ini sudah pasti dialami setiap anak bahkan sejak ia lahir ke dunia. Peran orangtua sangat penting di fase ini. Ketika lingkungan tidak dipersiapkan dengan baik saat anak melalui masa-masa sensitifnya, anak akan menjadi rentan frustasi, rewel, tantrum, atau bahkan berujung ke kenakalan dan perilaku negatif. Ini karena anak akan merasakan pergolakan batin dan kebingungan antara memenuhi kebutuhan perkembangannya atau melakukan apa yang diperintahkan orang dewasa (lewat larangan-larangan misalnya).

Dalam laman Montessori in Real Life, disebutkan bahwa anak yang melewatkan periode sensitifnya, mereka memang masih mungkin akan mengembangkan keterampilan tersebut, namun biasanya akan memakan waktu lebih lama dengan lebih banyak usaha. Proses ini juga sudah tidak semenyenangkan itu. Contohnya seperti kita orang dewasa yang sudah mulai merasa kesulitan saat diminta mempelajari bahasa baru, ketimbang anak yang sudah belajar dua bahasa sejak kecil.

Penulis: Darin Rania
 Editor: Dwi Ratih